Monday, April 9, 2007

cerpen

cerpen selanjutnya akan menyusul....

Kalimantan

Chatt Room

(Sovina Sofyan)

Ardi sudah tahu kalau aku ini orang kalimantan tepatnya Banjarmasin pada hari pertama perkenalan kami. Waktu itu aku pake nick name bungas, bahasa banjar yang artinya cantik.

(Bungas) Hi

(Ardi_Jogja) Hi jg

(Ardi_Jogja) asl pls

(Bungas) U1

(Ardi_Jogja) 26 m YK

(Ardi_Jogja) kamu

(Bungas) 23 f bjm

(Ardi_Jogja) Bjm??

(Bungas) Banjarmasin, tau kan?

(Ardi_Jogja) Kalimantan ya?

(Bungas) yup, Kalimantan Selatan

Cuma itu saja reaksinya. Malam itu kami banyak sekali ngobrol tentang berbagai hal termasuk status kami apakah sedang jomblo atau tidak. Terus terang aku masih menyangsikan semua cerita Ardi tentang dia lulusan teknik UGM dan hal lainnya yang dia ceritakan kepadaku. Pertemanan di dunia maya menurutku penuh dengan nuansa kebohongan. Ehmm….tapi cukup menarik ngobrol dengan Ardi malam itu. Tampaknya Ardi pun merasakan hal itu juga. Tiga jam lebih kami chatting. Sampai-sampai Ardi pun minta dikirimin fotoku, entah kenapa aku seperti terbuai dalam obrolan kami malam itu dan aku pun mengiyakan saja permintaannya untuk mengirim fotoku, padahal aku tidak mengenal dia sama sekali.

Malam kedua, aku chatt lagi dengan server, nick name dan channel yang sama seperti kemaren malam dengan harapan bisa ketemu lagi dengan Ardi. Aku putar MP3 di Laptopku untuk menambah asyik chattku malam itu. Tidak berapa lama Ardi menyapaku di Chatt Room dan kali ini Ardi memakai nick name yang sedikit berbeda. Ardi113 entah apa artinya 113. Mungkin nomor kamar hotel atau nomor box tempat dimana dia chatting sekarang. Akh…aku tidak perduli, yang penting dia Ardi yang kemaren malam.


(Ardi113) mana fotonya???

(Bungas) udah, cek aja email mas

(Bungas) tadi pagi udah aku kirim

(Ardi113) ehmmm

(Ardi113) cantik

(Ardi113) Kata orang bahaya dekat sama orang kalimantan

(Bungas) Bahaya kenapa mas??

(Ardi113) aku takut kenapa-napa

(Ardi113) Temen mas yang kerja di kalimantan mati mendadak loh

(Bungas) Tapi kan belum tentu karena kalimantan mas

(Ardi113) Iya..

(Ardi113) tapi ada lagi anaknya temen mas juga mati mendadak ga da sebab disana

(Bungas) Ya ga bisa digeneralisir kaya gitu dong mas

(Bungas) Kalimantan udah modern loh

(Ardi113) Iya

(Ardi113) Trus mas juga punya temen di Kalbar katanya emang kalimantan terkenal dengan magisnya

(Bungas) Wah.. semua daerah juga punya hal-hal yang magis mas, tidak kalah hebatnya dengan kalimantan.

(Bungas) Di Jawa ada, Sulawesi, Sumatera bahkan Amerika pun ada lo, tau voodoo kan?

(Ardi113) Iya maaf ya dik

(Bungas) Ga papa ko

(Ardi113) ehmmm

(Ardi113) Kamu ckp bgt loh

(Bungas) Itu juga karena dukun mas

(Ardi113) Ah ga deh kayanya

(Bungas) Ya.. syukur deh

Obrolanku malam kedua dengan Ardi tidak banyak seperti malam sebelumnya. Aku seperti kehilangan gairah. Alunan lagu-lagu terbaru dari MP3ku pun tidak juga bisa memberikan lagi semangat kepadaku malam itu. Tidak beberapa lama aku pun memutuskan mencari chatter lain untuk membangkitkan semangatku kembali. Aku klik channel Jogjakarta di sudut kiri atas, dan aku lihat daftar nama yang sedang chatting di Channel itu dan aku pilih salah satu nama chatter yang cukup menarik hatiku, Co_ butuh teman.

(Bungas) hi.. butuh teman ya

(Co_butuh teman) iya

(Co_butuh teman) asl pls

(Bungas) 23 f bjm

Lama aku menunggu tidak ada balasan dari temen chatterku ini. Entah kenapa, mungkin takut dengan orang kalimantan juga, hiks. Tapi aku tidak peduli, seleraku memang sudah hilang disapu oleh tuduhan-tuduhan ardi yang tidak masuk akal tentang kalimantanku. Di layar laptop aku lihat tanda merah dari Ardi113, sepertinya dia mencari-cari aku yang hilang begitu aja tanpa pamit. Aku lihat window komunikasi Ardi113.

(Ardi113) Aloooow

(Ardi113) Bungas kemana kamu??

Aku hiraukan window komunikasi dengan Ardi113. aku malas membalas obrolannya lagi, aku takut emosiku semakin memuncak kalau tiba-tiba dia menghina kalimantanku lagi. Aku menengadahkan kepalaku ke atas untuk melihat jam dinding yang tergantung tinggi tepat di atas meja rias yang baru dibelikan ayahku satu minggu yang lalu. Bau cat kayu jatinya pun masih menyengat di hidungku. Pukul 20.00 wita, masih terlalu sore untuk pergi tidur, lagian mataku masih belum dihinggapi rasa kantuk. Tapi tangan kananku seperti mendapatkan kekuatan emosi yang besar untuk menggerakkan mouse dan mengarahkan cursor ke tanda silang merah di sudut kanan paling ujung. Klik…akhirnya aku menutup chatt room dan menutup koneksi internet di laptopku.

Aku masih malas beranjak dari meja riasku tempat dimana aku meletakkan laptopku. Kemudian aku membuka My Documents dan aku klik My Pictures. Banyak folder foto-fotoku. Aku buka salah satu folder yang berisikan foto-foto ketika aku dan teman-teman melakukan penelitian di pedalaman Kalimantan Timur. Lucu –lucu tingkah polah temanku ketika difoto. Tapi kali ini aku tidak tertawa melihatnya.

Perasaanku tidak enak, aku merasa sedih dan kaget dengan tuduhan-tuduhan Ardi tentang kalimantanku. Aku tengok kesamping kanan belakang, Aku lihat spreiku yang berwarna biru pastel berantakan sekali dengan buku-buku, remote tv , charger handphone yang berserakan di atasnya. Melihat itu semua semangatku pun menjadi ikut-ikutan berantakan. Tapi tempat tidurku seperti punya daya tarik yang kuat memanggil-manggil aku untuk segera datang merasakan betapa nikmatnya merebahkan badan di atasnya.

Aku matikan laptopku. Aku pun beranjak dari meja rias dan merebahkan badanku diatas tempat tidur dengan kedua tangan yang aku silangkan menjadi bantal untuk kepalaku. Memang enak ternyata tidur-tiduran di atas tempat tidurku meskipun keadaannya berantakan. Aku memandang setiap sudut kamarku yang semua dindingnya berwarna krem. Aku lihat di sudut kanan kamarku baju-baju bekas aku pakai kemaren dan tadi pagi masih bergantungan. Rupanya pembantuku belum mengambilnya untuk dicuci besok pagi.

Tidak terasa malam semakin larut. Aku tengok lagi jam dindingku, pukul sudah menunjukkan jam 00.00 wita. Kantuk belum juga menghampiri. Tiba-tiba aku teringat dengan teman lamaku yang bukan orang kalimantan. Dua minggu aku satu kamar dengan temanku itu di sebuah hotel bintang empat karena kita sama-sama mengikuti sebuah training yang diadakan oleh sebuah universitas terkenal di pulau Jawa. Pagi itu di kamar hotel, kami bersiap-siap untuk menghadiri pembukaan acara training. Dan aku pun bergegas untuk berpakaian setelah mandi dengan air hangat. Aku buka koperku dan aku langsung memilih baju putih warna favoritku. Tiba-tiba temenku yang sudah siap dari tadi tapi tidur-tiduran lagi di tempat tidur karena menunggu aku, bertanya kepadaku.

“Di kalimantan baju bisa cepet kuningnya ya”. Kata temanku polos.

“Akh…kata siapa, buktinya bajuku putih bersih.” Sambil mengerutkan dahi sambil menatapnya heran.

“Loh disanakan apa-apa dilakukan disungai” Lagi-lagi dengan ekspresi polosnya.

Saat itu aku tidak begitu menghiraukan omongan temenku itu. Aku buru-buru, jam sudah menunjukkan tinggal 15 menit lagi waktu kami, padahal kami belum sarapan.

Tanganku terasa kesemutan karena kelamaan aku jadikan bantal untuk kepalaku. Cepat-cepat aku pakaikan bantal betulan ke kepalaku. Aku tengok topi capingku yang cantik yang kubawa dari Kutai Barat masih tergantung sempurna di dinding sebelah kiri tempat tidurku. Capingku benar-benar mempermanis kamarku. Melihat topi capingku yang semarak dengan warna-warni mencolok itu, biasanya aku tersenyum teringat kenangan manis ketika berada di Kutai Barat yang eksotis. Tapi malam ini capingku tidak mampu menghibur hatiku, aku masih merasa sedih mengingat omongan Ardi dan teman satu kamarku dulu. Rasanya hatiku seperti teriris-iris sembilu, dan sembilu kali ini bukan sembilu dari bambu tapi sembilu dari hinaan Ardi dan temanku tentang Kalimantan. Pedih dan sakit sekali. Terus terang aku tidak rela Kalimantanku dinilai dengan sangat ekstrim begitu saja. Aku tidak rela Kalimantanku dikatakan berbahaya dan terbelakang. Kalimantanku sudah begitu, maju dan modern, tidak ada lagi bahaya di Kalimantanku. Masyarakatnya ramah, puritan dan juga sudah banyak yang berpendidikan. Bahkan sudah banyak yang S3 apalagi S2 dan S1 sudah bertebaran di Kalimantanku. Ledeng dan listrik sudah sampai hampir ke semua pelosok desa di Kalimantanku. Jalan-jalan hampir semuanya beraspal di Kalimantanku. Mau ke Plaza juga ada di Kalimantanku, hotel berbintang tiga dan empat ada di Kalimantanku, restoran banyak di Kalimantanku. Bahkan mobil keluaran terakhirpun selalu ada di Kalimantanku. Rumah sakit kami pun tidak kalah megahnya dengan rumah sakit di pulau jawa.

Hatiku panas mengingat hinaan itu. Kamarku pun ikut-ikutan menjadi panas oleh hatiku dan juga ditambah oleh musim kemarau panjang yang tidak kunjung berganti. Aku berkeringat, punggungku terasa basah, aku pun menaikkan sedikit badanku untuk menggapai remote AC yang menempel rendah di dinding atas tempat tidurku. Aku arahkan remote ke AC yang terletak tinggi di dinding tepat di atas tv. Aku tekan tombol on dan aku klik tombol bertanda segitiga yang ujungnya menghadap kebawah. Aku tekan-tekan terus tombol itu sampai temperatur minimum. Aku berharap hatiku bisa sesejuk badanku terkena AC. Aku pun memecet remote tv untuk menyalakannya. Berulangkali aku pencet-pencet tombol channel tvku, tidak ada yang menarik, semuanya menayangkan sinetron yang membuat aku semakin muak karena jalan ceritanya yag tidak masuk akal, dibuat-buat, diperpanjang demi mendapatkan keuntungan.

Aku lelah, akhirnya mataku mengantuk, tapi otakku sepertinya masih enggan untuk beristirahat. Otakku masih berputar-putar berusaha mencari jawaban kenapa teman-temanku menganggap kalimantanku dengan pandangan yang negatif Aku termenung memikirkan jawabannya. Telentang, tengkurap, hadap kanan, hadap kiri sambil memeluk guling, menutup mata dengan bantal, duduk di sudut tempat tidur dan mentup semua badan dengan selimut sudah aku lakukan, tetapi tetap tidak kutemukan jawabannya.

“Teman-temanku. Aku tidak marah dengan kalian, selamat tidur”

Akhirnya otakku menyerah dan mengikuti keinginan kedua mataku yang sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Aku tekan tanda off untuk mematikan tv dan aku pun tertidur dengan membawa harapan bahwa di luar sana pasti ada banyak orang yang punya pandangan positif terhadap kalimantanku.

Janji Hatiku

HUSNUL

(Sovina Sofyan)

Aku menghentikan sepeda motorku tepat di depan sebuah warung makan di ujung kampung. Warung yang membuat aku begitu penasaran. Ukurannya tidak begitu besar, tidak menarik, tampak lusuh dari luar, tapi aku lihat banyak orang yang makan di tempat itu. Ada apa gerangan, aku pikir pasti ada yang istimewa dengan warung itu sehingga banyak orang sudi mampir ke warung itu.

Aku langkahkan kakiku ke beranda warung tempat si penjual warung membuat masakannya dengan arang kayu yang sesekali menyemburkan api kecil-kecil ke atas. Bau harum masakannya memenuhi ruang hidungku. Aku terbuai dan aku menengok lebih ke dalam, ketempat orang-orang duduk dan menunggu hidangan lezat itu. Aku melihat sekeliling tampak penuh dengan orang orang yang sedang makan dan juga orang-orang yang lagi menunggu pesanannya datang diantar. Aku lihat ke atas, ada sekumpulan Laron menggerumbungi lampu neon dan sesekali mengganggu para pembeli yang duduk di bawahnya. Tapi para pembeli itu tidak peduli. Mereka tetap asyik makan dan menunggu pesanannya. Mereka berderet duduk di bangku-bangku plastik tanpa sandaran dengan satu mejanya panjang terletak di tengah ruangan warung dan meja-meja yang memanjang melekat di kanan kiri dinding warung.

Aku masih berdiri memandang ke dalam warung dan tiba-tiba aku merasa warung ini sedikit bergoyang. Terdengar bunyi air yang menghantam tiang-tiang di bawah warung ini. Aku yakin pasti karena ada speedboat lewat dan menghantarkan ombak menghantam setiap bangunan yang ada di pinggir sungai termasuk warung ini. Warung ini memang terletak di pinggir sungai Barito. Tepatnya di perkampungan masyarakat Dayak Bakumpai. Aku lihat ada cukup banyak orang yang keluar masuk ke jalan di samping warung ini. Aku coba berjalan menengok ke samping warung. Ternyata ada penyeberangan getek, penyeberangan yang mengantarkan orang ke kampung seberang dengan perahu kecil. Aku lihat perahu kecil itu sedang mengantarkan orang ke kampung seberang. Dan di seberang sana aku lihat samar ada dua orang sedang menunggu getek sampai ke tempatnya dan menyeberangkannya ke kampung ini. Aku kerutkan dahiku melihat pemandangan yang baru aku lihat ini. Terus terang aku heran kenapa masih ada penyeberangan getek di zaman sekarang ini. Padahal yang aku tahu di sebelah sana ada jembatan yang sudah dibangun oleh Pemerintah untuk menghubungkan kedua kampung yang terpisahkan oleh sungai Barito ini. Tentu gratis, tanpa harus membayar lagi untuk menyeberang. Tapi ternyata masih ada orang-orang yang menggunakan penyeberangan getek meskipun harus merogoh lima ratus rupiah untuk menyeberang.

Aku kembali mengamati ke dalam warung, bingung harus duduk dimana, semua tempat penuh. Tidak ada bangku kosong. Terlintas di benakku untuk mengurungkan niatku untuk makan di warung itu. Tapi rasa penasaranku begitu besar dan semakin besar melihat suasana ramai di dalam warung itu. Aku memandang ke sekeliling ruangan warung itu. Di dinding sebelah kanan aku dapati sebuah gambar besar yang tidak asing lagi bagiku karena selalu aku lihat terpajang di setiap warung yang aku singgahi. Gambar Haji Ijai, tuan guru dari sekumpul Martapura yang sangat dikagumi oleh masyarakat Kalimantan Selatan.

Ah, akhirnya ada seorang bapak yang perutnya sangat buncit berbaju kaos biru, sudah selesai makan dan beranjak meninggalkan satu bangku plastik kosong. “Itu bangku untukku.” Kataku dalam hati. Cepat-cepat aku memesan makanan kepada penjualnya. Aku lihat menu yang ditulis cukup besar dengan cat merah di kaca lemari yang di letakkan di depan warung. Lemari kaca tanpa pintu yang terlihat manis dari luar dengan berwarna-warni sayuran mentah, telur, ayam dan mie mentah yang tersusun rapi.

Ada nasi goreng, mie goreng, mie kuah. Aku baca tulisan yang tertera di lemari kaca itu. Dan aku memilih mie goreng kesukaanku. “Pak, saya mie goreng tambah telur rebus ya”. Penjual yang sedari tadi sibuk mengaduk lihai masakannya di kuali besar, menolehku dan sedikit mengangguk tanpa suara dan kembali sibuk mengaduk. Aku masuk kedalam dan langsung menyambar cepat kursi kosong bekas di tinggalkan bapak buncit itu.

Aku duduk dan tiba-tiba dari dapur seorang perempuan yang nampak sebaya denganku menghampiri untuk menanyakan minuman apa yang mau ku pesan. “Es teh, jangan lupa sedotannya ya” ucapku ringan. Aku memang suka minum teh pakai sedotan. Bagiku minum tanpa sedotan seperti minum teh tanpa gula. Aku lihat di samping kananku ada seorang perempuan seusia nenekku sedang makan mie goreng. Penampilannya sederhana dengan baju daster panjang bercorak batik coklat dan kerudung kecil motif kembang warna senada yang di ikatkannya ke belakang kepala. Nampak terlihat rambut-rambut kecil yang beruban menjembul di sekitar dahi perempuan itu. Aku lihat dari dekat wajahnya yang kendur sudah penuh dengan garis-garis yang menggambarkan senja hidupnya.

Tidak berapa lama es teh lengkap dengan sedotannya datang dari dapur. Aku mengucapkan terima kasih kepada perempuan yang mengantarkannya itu. aku mengaduk gula yang masih utuh terlihat di dasar gelas belum teraduk dengan sempurna. Aku coba meminumnya dan rasa manisnya sudah cukup pas di lidahku. Sambil menunggu mie goreng pesananku datang, aku memainkan ujung sedotan dengan tanganku sambil sesekali melirik mie goreng yang ada di piring perempuan itu. Aroma harumnya benar-benar menusuk hidungku. Aku lihat dari samping dia menikmati sekali setiap kunyahan mie goreng yang ada di mulutnya sambil asyik berbincang-bincang dengan seorang laki-laki yang sedari tadi aku dengar memanggil perempuan itu dengan sebutan ibu. Aku coba menengok laki-laki itu yang duduk di sebelah kanan perempuan itu. Aku lihat wajahnya dari samping dan mencoba mengira-ngira usianya setengah perempuan itu, jadi pantas dia menyebut perempuan itu ibu.

Melihat betapa nikmatnya perempuan itu menikmati mie goreng, aku jadi tidak sabar menunggu pesananku datang. Sambil menunggu mie goreng pesananku. telingaku mendengar semua percakapan mereka berdua. Dari percakapannya aku tahu mereka berdua sudah lama tidak bertemu dan tanpa sengaja ketemu di warung ini. aku lihat wajah wanita itu lagi dari samping. Dia masih asyik menikmati makanannya. Kerongkonganku jadi turun naik dan beberapa kali aku menelan air liurku untuk mencoba merasakan juga betapa nikmatnya mie goreng itu.

Bagiku percakapan mereka berdua tidak menarik telingaku sama sekali. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi aku tidak bisa menutup kupingku untuk tidak mendengar, jadi aku relakan saja cerita demi cerita mengalir melewati kuping kananku dan keluar sendiri dari kuping kiriku.

“Husnul sekarang sudah kerja ya, bu?” aku dengar suara si laki-laki itu bertanya kepada perempuan di sampingku ini.

“Iya, sekarang kerja sebagai tenaga ahli pengembangan nuklir di Amerika”. Ucap perempuan itu sambil mengunyah mie yang barusan dimasukkannya ke dalam mulutnya.

‘Wow..!” laki-laki itu terkejut dan menghentikan makannya dan sedikit memutar badannya ke kiri menatap perempuan di sebelahnya. Aku lihat wajah laki-laki itu nampak setengah tidak percaya. Telingaku menjadi tertarik untuk mendengarkan percakapan mereka kali ini.

“Kenapa, kok kaget?!” aku lihat perempuan itu menghentikan makannya dan menoleh ke laki-laki itu. Aku semakin tertarik dengan percakapan mereka berdua. Tentang mie goreng yang belum juga datang tidak membuat aku risau. Perhatianku sedikit demi sedikit beralih kepada mereka berdua. Telingaku ingin mengetahui lebih banyak tentang siapa Husnul? Amerika? Dan wanita yang duduk di sebelah kananku ini. Telingaku kupusatkan lagi untuk mendengar tentang Husnul lebih banyak.

“Hebat betul Husnul, bu. Tapi aku tidak heran kok. Dia dari dulu memang pintar”. Sambil aku minum es tehku, terdengar suara laki-laki itu ditelingaku. Dari nada suaranya, aku tahu dia bangga terhadap Husnul.

Perempuan itu tersenyum sambil mengambil teh hangat di hadapannya dan meminumnya kemudian bicara dengan laki-laki itu sambil tangannya memegang sendok dan garpu untuk siap menyuap mie ke dalam mulutnya lagi. “Anakku itu memang rajin belajar, patuh dengan orang tua dan rajin ibadah. Dulu aku susah payah banting tulang membiayai Husnul sekolah dan sekarang aku lega, dia sudah bekerja. Aku bersyukur nasibnya tidak seperti aku yang hanya jadi tukang pijat. Sekarang dia bisa jadi orang yang bermanfaat.

Sekarang aku tahu, Husnul adalah anak perempuan itu. Anak dari seorang tukang pijat. Aku tidak menyangka perempuan sederhana ini memiliki anak yang sukses. Dan Sekarang Husnul berada di Amerika, tempat yang selama ini ingin aku kunjungi. Tempat yang saat ini masih kulihat keindahannya di televisi saja. Dan Husnul sekarang berada di sana . Aku minum lagi es tehku yang tinggal setengah. Ah, bisakah aku seperti Husnul, bisa melihat Amerika secara langsung? Bisakah aku ke Amerika juga suatu saat nanti? Pertanyaan itu menghampiri hatiku.

Mie gorengku pesananku akhirnya datang. Bau harumnya menyapa hidungku seketika. Harumnya menggodaku untuk segera menyantapnya. Tapi aku tahan godaan itu. karena mienya masih panas sekali dengan kepulan uap yang belum berhenti naik keatas. Aku coba mengaduk-aduk mie gorengku agar cepat dingin dan bisa bersahabat dengan lidahku. Suara dari laki-laki itu terdengar lagi.

“Sekarang tidak mijat orang lagi kan , bu?”

“Siapa bilang, aku baru aja habis dari kampung sebelah mijat orang.”

“Loh, kenapa masih kerja, pasti Husnul kirim uang buat ibu terus kan

“Iya, selalu dia kirim uang yang lebih dari cukup untuk hidupku. Dia juga berpesan agar aku istirahat saja di rumah. Tidak usah kerja. Tapi aku tidak biasa. Aku terbiasa bekerja. Uang kiriman dari Husnul sebagian aku pergunakan untuk membiayai sekolah si Jumri keponakanku. Aku harap dia juga bisa berhasil nanti. Dan keluargaku tidak miskin lagi.”

“Julak Amah, bisa pijat saya besok pagi?” Tiba-tiba ada suara seorang perempuan di belakang terdengar.

Perempuan disampingku ini menoleh kebelakang, aku pun ikut menoleh ke asal suara itu. Ada seorang perempuan gendut seusia ibuku menghampiri perempuan di sampingku ini. “Iya, Insya Allah”. Kata si perempuan di sampingku ini dengan tersenyum. Rupanya mereka sudah saling kenal. Dan perempuan di belakangku tadi balas tersenyum sambil berbalik mencari tempat duduk kosong di warung itu.

Dari yang aku dengar barusan tadi, perempuan di sampingku ini ternyata bernama Julak Amah. Julak Amah ini ternyata tipe pekerja keras. Walaupun anaknya sudah sukses, Julak Amah masih tetap bekerja. Pantas sekali Julak Amah bisa mengantarkan anaknya sampai berhasil dan bisa membanggakan dirinya. Julak Amah juga punya keinginan yang luar biasa untuk mengubah nasib keluarganya agar lebih baik dengan membiayai keponakannya sekolah sampai berhasil seperti Husnul. Aku terus mengaduk mie gorengku. Aku lihat es tehku hampir habis padahal mie gorengku masih belum dimakan sama sekali. Aku tahan untuk tidak meminumnya supaya cukup untuk makan mie goreng nanti. Dan pikiranku sekarang hanya tertuju kepada cerita tentang Husnul. Aku ingin tahu banyak lagi tentang dia. Aku penasaran.

Tiba-tiba aku membayangkan hal yang cukup konyol. Aku membayangkan di Amerika sana Husnul sedang tersedak karena sekarang ibunya sedang membicarakan dia dengan bangga. Dengan tangan masih mengaduk-aduk, aku tersenyum kecil. Aku juga rela tersedak, aku juga ingin tersedak seperti Husnul. Tersedak karena orangtuaku sedang membicarakan aku dengan bangga.

“Husnul memang hebat” gumamku. Tapi ada tanya yang mengusik hatiku. Kenapa Husnul bekerja di Amerika, kenapa tidak di Indonesia atau di daerahnya sendiri di Kalimantan selatan. Bukankah Husnul aset berharga bagi Indonesia, aset berharga bagi Kalimantan Selatan. Kenapa justru negara lain yang harus menikmati keahliannya. Kenapa tidak Indonesia atau Kalimantan Selatan? Aku jadi ingat nasib seorang pebulutangkis Indonesia yang berpindah kewarganegaraan ke negara lain karena dia merasa prestasinya tidak dihargai oleh Pemerintah Indonesia. Apakah Husnul juga tidak dihargai di Indonesia atau tidak dihargai di Kalimantan Selatan sehingga dia mesti bekerja di luar negeri? Apakah benar perkataan kakekku dulu?. Dia pernah bercerita padaku bahwa daerah ini banyak melahirkan kaum para cerdik pandai tapi mereka lebih dihargai di tempat orang daripada di kampung sendiri, kadang mereka dipandang sebelah mata. Ironisnya lagi, Pejabat di sini pun, menghindar seolah ketakutan kalau orang pintar pulang ke kampung sendiri. Seperti khawatir kalau keburukannya diketahui. Padahal keahlian mereka bisa untuk membangun daerah, membangun Kalimantan selatan, membangun Indonesia agar lebih maju. Aku jadi sedih melihat betapa minimmya penghargaan terhadap kaum intelektual. Aku jadi takut, semangatku jadi sedikit mengendor. Tapi langsung buru-buru aku tepis ketakutan itu. Bagiku ketakutan itu hanya akan membuat aku semakin tidak dihargai. Aku harus tetap maju.

“Ehmmm…enak betul ternyata mie goreng ini.” Kataku dalam hati sehabis menyuapkan sesendok mie pertama ke mulutku. Ternyata dugaanku tepat. Rasa mie ini istimewa. Apalagi ditambah cerita tentang seorang perempuan yang berhasil dan sangat membanggakan orang tuanya. Ya, cerita Husnul bagiku begitu istimewa. Seistimewa rasa mie goreng yang terus aku makan ini. Telingaku terus aku pasang untuk mendengar lagi kalau-kalau mereka berdua bicara tentang Husnul lagi.

Aku lihat Julak Amah sudah selesai makan. Ia pun minum teh hangatnya yang tinggal sedikit tersisa dan menghabiskannya. Aku tengok piring laki-laki di samping Julak Amah itu, sudah bersih juga tanpa sisa mie sedikitpun di piringnya.

“Minggu depan ada selamatan di rumah ibu, kamu datang ya, Ibu insya Allah menunaikan ibadah haji tahun ini.”

“ Alhamdulillah. Selamat ya, bu.”

“Ini berkat anakku, dia yang membiayaiku naik haji.” Aku lihat mata Julak Amah dari samping, sorot matanya menyiratkan sebuah kebanggaan terhadap anaknya.

Oh, aku terhenyak mendengar cerita Julak Amah. Betapa bahagianya menjadi Husnul, dia bisa membiaya ibunya naik haji. Itu juga cita-citaku. Aku ingin membiayai orangtuaku naik haji dan bisa membahagiakan mereka. Dan sekarang Husnul sudah melakukannya. “Kapan giliranku?” tanyaku dalam hati. Aku jadi tidak bisa menyuap mie goreng dan hanya mengaduk-aduk tanpa jelas. Pikiranku benar-benar jadi tidak menentu. Terus terang aku sangat iri terhadap Husnul. Aku juga ingin seperti dia. Aku ingin membahagiakan orang tuaku dan membanggakannya.

Aku bangun dari lamunanku tentang Husnul, ketika Julak Amah dan laki-laki di sampingnya itu beranjak dari kursinya berjalan ke depan. Aku tengok ke depan, nampak laki-laki itu membayar makanan mereka berdua. Kemudian mereka berjalan keluar dan menghilang dari pandanganku.

Aku kembali menikmati mie goreng yang masih tersisa banyak ada di piring. Ingin aku mengenal sosok Husnul yang telah membanggakan ibunya itu. Sambil terus menghabiskan mie gorengku, hatiku bertanya-tanya lagi. Apakah aku bisa seperti Husnul? Apakah Aku bisa membahagiakan orangtuaku seperti Husnul membahagiakan ibunya itu? Saat Suapan terakhir aku teringat tentang kata-kata motivasi yang kutempel di atas meja belajarku. Kata-kata yang selalu membangkitkan semangatku ketika sedang suntuk. Nothing Is impossible. Ya, .aku pasti bisa. Dengan belajar yang keras, patuh kepada orangtua dan rajin ibadah aku pasti bisa. Aku pasti bisa seperti Husnul mewujudkan cita-citaku.

Akhirnya habis juga mie di piringku, Aku masih ingin duduk santai di warung itu untuk menurunkan makananku yang terasa belum sepenuhnya turun ke perutku. Tapi di luar sana banyak orang yang sedang mengantri menunggu giliran duduk. Tanpa pikir lagi aku bergegas beranjak dari tempat dudukku, aku bayar dan aku pulang. Rasa mie goreng itu masih tersisa di lidahku begitu juga cerita tentang Husnul masih membekas di kepalaku. Aku mengendarai motorku pelan, jilbabku melambai-lambai kebelakang dibawa angin. Rasa dingin merayapi lembut tubuhku. Tapi aku menikmatinya sambil membawa semangat untuk bisa membahagiakan orangtuaku kelak. Tiba-tiba bayangan kedua orang tuaku muncul di hadapanku dengan tersenyum bangga. Senyum yang ingin aku lihat nyata nanti. Aku janji…

Banjarmasin , 27 Nopember 2006