Monday, April 9, 2007
Kalimantan
Chatt Room
(Sovina Sofyan)(Ardi_Jogja) Hi jg
(Ardi_Jogja) asl pls
(Bungas) U1
(Ardi_Jogja) 26 m YK
(Ardi_Jogja) kamu
(Bungas) 23 f bjm
(Ardi_Jogja) Bjm??
(Bungas)
(Ardi_Jogja)
(Bungas) yup,
(Ardi113) mana fotonya???
(Bungas) udah, cek aja email mas
(Bungas) tadi pagi udah aku kirim
(Ardi113) ehmmm
(Ardi113) cantik
(Ardi113) Kata orang bahaya dekat sama orang kalimantan
(Bungas) Bahaya kenapa mas??
(Ardi113) aku takut kenapa-napa
(Ardi113) Temen mas yang kerja di kalimantan mati mendadak loh
(Bungas) Tapi
(Ardi113) Iya..
(Ardi113) tapi ada lagi anaknya temen mas juga mati mendadak ga da sebab disana
(Bungas) Ya ga bisa digeneralisir kaya gitu dong mas
(Bungas)
(Ardi113) Iya
(Ardi113) Trus mas juga punya temen di Kalbar katanya emang kalimantan terkenal dengan magisnya
(Bungas) Wah.. semua daerah juga punya hal-hal yang magis mas, tidak kalah hebatnya dengan kalimantan.
(Bungas) Di Jawa ada, Sulawesi, Sumatera bahkan Amerika pun ada lo, tau voodoo
(Ardi113) Iya maaf ya dik
(Bungas) Ga papa ko
(Ardi113) ehmmm
(Ardi113) Kamu ckp bgt loh
(Bungas) Itu juga karena dukun mas
(Ardi113) Ah ga deh kayanya
(Bungas) Ya.. syukur deh
(Bungas) hi.. butuh teman ya
(Co_butuh teman) iya
(Co_butuh teman) asl pls
(Bungas) 23 f bjm
(Ardi113) Bungas kemana kamu??
“Akh…kata siapa, buktinya bajuku putih bersih.” Sambil mengerutkan dahi sambil menatapnya heran.
“Loh disanakan apa-apa dilakukan disungai” Lagi-lagi dengan ekspresi polosnya.
Janji Hatiku
HUSNUL
(Sovina Sofyan)
Aku menghentikan sepeda motorku tepat di depan sebuah warung makan di ujung kampung. Warung yang membuat aku begitu penasaran. Ukurannya tidak begitu besar, tidak menarik, tampak lusuh dari luar, tapi aku lihat banyak orang yang makan di tempat itu.
Aku langkahkan kakiku ke beranda warung tempat si penjual warung membuat masakannya dengan arang kayu yang sesekali menyemburkan api kecil-kecil ke atas. Bau harum masakannya memenuhi ruang hidungku. Aku terbuai dan aku menengok lebih ke dalam, ketempat orang-orang duduk dan menunggu hidangan lezat itu. Aku melihat sekeliling tampak penuh dengan orang orang yang sedang makan dan juga orang-orang yang lagi menunggu pesanannya datang diantar. Aku lihat ke atas, ada sekumpulan Laron menggerumbungi lampu neon dan sesekali mengganggu para pembeli yang duduk di bawahnya. Tapi para pembeli itu tidak peduli. Mereka tetap asyik makan dan menunggu pesanannya. Mereka berderet duduk di bangku-bangku plastik tanpa sandaran dengan satu mejanya panjang terletak di tengah ruangan warung dan meja-meja yang memanjang melekat di kanan kiri dinding warung.
Aku masih berdiri memandang ke dalam warung dan tiba-tiba aku merasa warung ini sedikit bergoyang. Terdengar bunyi air yang menghantam tiang-tiang di bawah warung ini. Aku yakin pasti karena ada speedboat lewat dan menghantarkan ombak menghantam setiap bangunan yang ada di pinggir sungai termasuk warung ini. Warung ini memang terletak di pinggir sungai Barito. Tepatnya di perkampungan masyarakat Dayak Bakumpai. Aku lihat ada cukup banyak orang yang keluar masuk ke jalan di samping warung ini. Aku coba berjalan menengok ke samping warung. Ternyata ada penyeberangan getek, penyeberangan yang mengantarkan orang ke kampung seberang dengan perahu kecil. Aku lihat perahu kecil itu sedang mengantarkan orang ke kampung seberang. Dan di seberang
Aku kembali mengamati ke dalam warung, bingung harus duduk dimana, semua tempat penuh. Tidak ada bangku kosong. Terlintas di benakku untuk mengurungkan niatku untuk makan di warung itu. Tapi rasa penasaranku begitu besar dan semakin besar melihat suasana ramai di dalam warung itu. Aku memandang ke sekeliling ruangan warung itu. Di dinding sebelah kanan aku dapati sebuah gambar besar yang tidak asing lagi bagiku karena selalu aku lihat terpajang di setiap warung yang aku singgahi. Gambar Haji Ijai, tuan guru dari sekumpul Martapura yang sangat dikagumi oleh masyarakat Kalimantan Selatan.
Ah, akhirnya ada seorang bapak yang perutnya sangat buncit berbaju kaos biru, sudah selesai makan dan beranjak meninggalkan satu bangku plastik kosong. “Itu bangku untukku.” Kataku dalam hati. Cepat-cepat aku memesan makanan kepada penjualnya. Aku lihat menu yang ditulis cukup besar dengan cat merah di kaca lemari yang di letakkan di depan warung. Lemari kaca tanpa pintu yang terlihat manis dari luar dengan berwarna-warni sayuran mentah, telur, ayam dan mie mentah yang tersusun rapi.
Aku duduk dan tiba-tiba dari dapur seorang perempuan yang nampak sebaya denganku menghampiri untuk menanyakan minuman apa yang mau ku pesan. “Es teh, jangan lupa sedotannya ya” ucapku ringan. Aku memang suka minum teh pakai sedotan. Bagiku minum tanpa sedotan seperti minum teh tanpa gula. Aku lihat di samping kananku ada seorang perempuan seusia nenekku sedang makan mie goreng. Penampilannya sederhana dengan baju daster panjang bercorak batik coklat dan kerudung kecil motif kembang warna senada yang di ikatkannya ke belakang kepala. Nampak terlihat rambut-rambut kecil yang beruban menjembul di sekitar dahi perempuan itu. Aku lihat dari dekat wajahnya yang kendur sudah penuh dengan garis-garis yang menggambarkan senja hidupnya.
Tidak berapa lama es teh lengkap dengan sedotannya datang dari dapur. Aku mengucapkan terima kasih kepada perempuan yang mengantarkannya itu. aku mengaduk gula yang masih utuh terlihat di dasar gelas belum teraduk dengan sempurna. Aku coba meminumnya dan rasa manisnya sudah cukup pas di lidahku. Sambil menunggu mie goreng pesananku datang, aku memainkan ujung sedotan dengan tanganku sambil sesekali melirik mie goreng yang ada di piring perempuan itu. Aroma harumnya benar-benar menusuk hidungku. Aku lihat dari samping dia menikmati sekali setiap kunyahan mie goreng yang ada di mulutnya sambil asyik berbincang-bincang dengan seorang laki-laki yang sedari tadi aku dengar memanggil perempuan itu dengan sebutan ibu. Aku coba menengok laki-laki itu yang duduk di sebelah kanan perempuan itu. Aku lihat wajahnya dari samping dan mencoba mengira-ngira usianya setengah perempuan itu, jadi pantas dia menyebut perempuan itu ibu.
Melihat betapa nikmatnya perempuan itu menikmati mie goreng, aku jadi tidak sabar menunggu pesananku datang. Sambil menunggu mie goreng pesananku. telingaku mendengar semua percakapan mereka berdua. Dari percakapannya aku tahu mereka berdua sudah lama tidak bertemu dan tanpa sengaja ketemu di warung ini. aku lihat wajah wanita itu lagi dari samping. Dia masih asyik menikmati makanannya. Kerongkonganku jadi turun naik dan beberapa kali aku menelan air liurku untuk mencoba merasakan juga betapa nikmatnya mie goreng itu.
Bagiku percakapan mereka berdua tidak menarik telingaku sama sekali. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi aku tidak bisa menutup kupingku untuk tidak mendengar, jadi aku relakan saja cerita demi cerita mengalir melewati kuping kananku dan keluar sendiri dari kuping kiriku.
“Husnul sekarang sudah kerja ya, bu?” aku dengar suara si laki-laki itu bertanya kepada perempuan di sampingku ini.
“Iya, sekarang kerja sebagai tenaga ahli pengembangan nuklir di Amerika”. Ucap perempuan itu sambil mengunyah mie yang barusan dimasukkannya ke dalam mulutnya.
‘Wow..!” laki-laki itu terkejut dan menghentikan makannya dan sedikit memutar badannya ke kiri menatap perempuan di sebelahnya. Aku lihat wajah laki-laki itu nampak setengah tidak percaya. Telingaku menjadi tertarik untuk mendengarkan percakapan mereka kali ini.
“Kenapa, kok kaget?!” aku lihat perempuan itu menghentikan makannya dan menoleh ke laki-laki itu. Aku semakin tertarik dengan percakapan mereka berdua. Tentang mie goreng yang belum juga datang tidak membuat aku risau. Perhatianku sedikit demi sedikit beralih kepada mereka berdua. Telingaku ingin mengetahui lebih banyak tentang siapa Husnul? Amerika? Dan wanita yang duduk di sebelah kananku ini. Telingaku kupusatkan lagi untuk mendengar tentang Husnul lebih banyak.
“Hebat betul Husnul, bu. Tapi aku tidak heran kok. Dia dari dulu memang pintar”. Sambil aku minum es tehku, terdengar suara laki-laki itu ditelingaku. Dari nada suaranya, aku tahu dia bangga terhadap Husnul.
Perempuan itu tersenyum sambil mengambil teh hangat di hadapannya dan meminumnya kemudian bicara dengan laki-laki itu sambil tangannya memegang sendok dan garpu untuk siap menyuap mie ke dalam mulutnya lagi. “Anakku itu memang rajin belajar, patuh dengan orang tua dan rajin ibadah. Dulu aku susah payah banting tulang membiayai Husnul sekolah dan sekarang aku lega, dia sudah bekerja. Aku bersyukur nasibnya tidak seperti aku yang hanya jadi tukang pijat. Sekarang dia bisa jadi orang yang bermanfaat.
Sekarang aku tahu, Husnul adalah anak perempuan itu. Anak dari seorang tukang pijat. Aku tidak menyangka perempuan sederhana ini memiliki anak yang sukses. Dan Sekarang Husnul berada di Amerika, tempat yang selama ini ingin aku kunjungi. Tempat yang saat ini masih kulihat keindahannya di televisi saja. Dan Husnul sekarang berada di
Mie gorengku pesananku akhirnya datang. Bau harumnya menyapa hidungku seketika. Harumnya menggodaku untuk segera menyantapnya. Tapi aku tahan godaan itu. karena mienya masih panas sekali dengan kepulan uap yang belum berhenti naik keatas. Aku coba mengaduk-aduk mie gorengku agar cepat dingin dan bisa bersahabat dengan lidahku. Suara dari laki-laki itu terdengar lagi.
“Sekarang tidak mijat orang lagi
“Siapa bilang, aku baru aja habis dari kampung sebelah mijat orang.”
“Loh, kenapa masih kerja, pasti Husnul kirim uang buat ibu terus
“Iya, selalu dia kirim uang yang lebih dari cukup untuk hidupku. Dia juga berpesan agar aku istirahat saja di rumah. Tidak usah kerja. Tapi aku tidak biasa. Aku terbiasa bekerja. Uang kiriman dari Husnul sebagian aku pergunakan untuk membiayai sekolah si Jumri keponakanku. Aku harap dia juga bisa berhasil nanti. Dan keluargaku tidak miskin lagi.”
“Julak Amah, bisa pijat saya besok pagi?” Tiba-tiba ada suara seorang perempuan di belakang terdengar.
Perempuan disampingku ini menoleh kebelakang, aku pun ikut menoleh ke asal suara itu.
Dari yang aku dengar barusan tadi, perempuan di sampingku ini ternyata bernama Julak Amah. Julak Amah ini ternyata tipe pekerja keras. Walaupun anaknya sudah sukses, Julak Amah masih tetap bekerja. Pantas sekali Julak Amah bisa mengantarkan anaknya sampai berhasil dan bisa membanggakan dirinya. Julak Amah juga punya keinginan yang luar biasa untuk mengubah nasib keluarganya agar lebih baik dengan membiayai keponakannya sekolah sampai berhasil seperti Husnul. Aku terus mengaduk mie gorengku. Aku lihat es tehku hampir habis padahal mie gorengku masih belum dimakan sama sekali. Aku tahan untuk tidak meminumnya supaya cukup untuk makan mie goreng nanti. Dan pikiranku sekarang hanya tertuju kepada cerita tentang Husnul. Aku ingin tahu banyak lagi tentang dia. Aku penasaran.
Tiba-tiba aku membayangkan hal yang cukup konyol. Aku membayangkan di Amerika
“Husnul memang hebat” gumamku. Tapi ada tanya yang mengusik hatiku. Kenapa Husnul bekerja di Amerika, kenapa tidak di
“Ehmmm…enak betul ternyata mie goreng ini.” Kataku dalam hati sehabis menyuapkan sesendok mie pertama ke mulutku. Ternyata dugaanku tepat. Rasa mie ini istimewa. Apalagi ditambah cerita tentang seorang perempuan yang berhasil dan sangat membanggakan orang tuanya. Ya, cerita Husnul bagiku begitu istimewa. Seistimewa rasa mie goreng yang terus aku makan ini. Telingaku terus aku pasang untuk mendengar lagi kalau-kalau mereka berdua bicara tentang Husnul lagi.
Aku lihat Julak Amah sudah selesai makan. Ia pun minum teh hangatnya yang tinggal sedikit tersisa dan menghabiskannya. Aku tengok piring laki-laki di samping Julak Amah itu, sudah bersih juga tanpa sisa mie sedikitpun di piringnya.
“Minggu depan ada selamatan di rumah ibu, kamu datang ya, Ibu insya Allah menunaikan ibadah haji tahun ini.”
“ Alhamdulillah. Selamat ya, bu.”
“Ini berkat anakku, dia yang membiayaiku naik haji.” Aku lihat mata Julak Amah dari samping, sorot matanya menyiratkan sebuah kebanggaan terhadap anaknya.
Oh, aku terhenyak mendengar cerita Julak Amah. Betapa bahagianya menjadi Husnul, dia bisa membiaya ibunya naik haji. Itu juga cita-citaku. Aku ingin membiayai orangtuaku naik haji dan bisa membahagiakan mereka. Dan sekarang Husnul sudah melakukannya. “Kapan giliranku?” tanyaku dalam hati. Aku jadi tidak bisa menyuap mie goreng dan hanya mengaduk-aduk tanpa jelas. Pikiranku benar-benar jadi tidak menentu. Terus terang aku sangat iri terhadap Husnul. Aku juga ingin seperti dia. Aku ingin membahagiakan orang tuaku dan membanggakannya.
Aku bangun dari lamunanku tentang Husnul, ketika Julak Amah dan laki-laki di sampingnya itu beranjak dari kursinya berjalan ke depan. Aku tengok ke depan, nampak laki-laki itu membayar makanan mereka berdua. Kemudian mereka berjalan keluar dan menghilang dari pandanganku.
Aku kembali menikmati mie goreng yang masih tersisa banyak ada di piring. Ingin aku mengenal sosok Husnul yang telah membanggakan ibunya itu. Sambil terus menghabiskan mie gorengku, hatiku bertanya-tanya lagi. Apakah aku bisa seperti Husnul? Apakah Aku bisa membahagiakan orangtuaku seperti Husnul membahagiakan ibunya itu? Saat Suapan terakhir aku teringat tentang kata-kata motivasi yang kutempel di atas meja belajarku. Kata-kata yang selalu membangkitkan semangatku ketika sedang suntuk. Nothing Is impossible. Ya, .aku pasti bisa. Dengan belajar yang keras, patuh kepada orangtua dan rajin ibadah aku pasti bisa. Aku pasti bisa seperti Husnul mewujudkan cita-citaku.
Akhirnya habis juga mie di piringku, Aku masih ingin duduk santai di warung itu untuk menurunkan makananku yang terasa belum sepenuhnya turun ke perutku. Tapi di luar